Transformasi Kewarisan Jahiliyah dan Kontekstualisasi Hukum Kewarisan di Indonesia
Oleh: Zainal Abidin, S.Sy.1
Sosial budaya Arab jahiliah yang banyak dikemukakan adalah menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya dan harta benda. Sehingga dalam hal waris perempuan tidak memiliki hak, bahkan perempuanlah yang diwariskan. Lalu Nabi Muhammad SAW. yang membawa risalah Ilahiyyah memuliakan perempuan dan membebaskannya dari kungkungan “perempuan bukan manusia seutuhnya”. Perempuan diberi hak terhadap warisan bahkan telah ada bagian yang sudah ditentukan (QS. An-Nisa ayat 11). Pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan masih menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji. Ragam pemikiran ulama klasik banyak menyatakan konsep waris bagian laki-laki dan perempuan 2:1 adalah final atau qoth’iy (tidak bisa diganggu gugat) karena sudah termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 11 dan merubah ketentuan tersebut dianggap melanggar syariah. Sedangkan cendikiawan kontemporer, jika tidak menyebutnya ulama, melihat hal tesrsebut sebagai sebuah aturan yang perlu dikonteksktualisasikan sesuai ruang dan waktunya. Tulisan ini bertujuan untuk melihat konsep pembagian waris yang sesuai kondisi masyarakat Indonesia, dengan pendekatan sosio-historis (melihat transformasi waris jahiliyah) dan teori keadilan gender. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembagian wari laki-laki dan perempuan 2:1 bukan aturan yang final, melainkan dapat berubah 1:1 atau bahkan 1:2 sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia.
1 dari 18 halaman
Download artikel ini
Sosial budaya Arab jahiliah yang banyak dikemukakan adalah menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya dan harta benda. Sehingga dalam hal waris perempuan tidak memiliki hak, bahkan perempuanlah yang diwariskan. Lalu Nabi Muhammad SAW. yang membawa risalah Ilahiyyah memuliakan perempuan dan membebaskannya dari kungkungan “perempuan bukan manusia seutuhnya”. Perempuan diberi hak terhadap warisan bahkan telah ada bagian yang sudah ditentukan (QS. An-Nisa ayat 11). Pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan masih menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji. Ragam pemikiran ulama klasik banyak menyatakan konsep waris bagian laki-laki dan perempuan 2:1 adalah final atau qoth’iy (tidak bisa diganggu gugat) karena sudah termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 11 dan merubah ketentuan tersebut dianggap melanggar syariah. Sedangkan cendikiawan kontemporer, jika tidak menyebutnya ulama, melihat hal tesrsebut sebagai sebuah aturan yang perlu dikonteksktualisasikan sesuai ruang dan waktunya. Tulisan ini bertujuan untuk melihat konsep pembagian waris yang sesuai kondisi masyarakat Indonesia, dengan pendekatan sosio-historis (melihat transformasi waris jahiliyah) dan teori keadilan gender. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembagian wari laki-laki dan perempuan 2:1 bukan aturan yang final, melainkan dapat berubah 1:1 atau bahkan 1:2 sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia.