Mengenal M Syarifuddin, Ketua MA yang Tak Pernah Bermimpi untuk Jadi Hakim
KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik M Syarifuddin menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2020-2025 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Pria bernama lengkap Muhammad Syarifuddin tersebut menggantikan Hatta Ali yang memasuki pensiun pada 7 April nanti dan turun dari jabatan Ketua MA pada 1 Mei mendatang. Syarifuddin berhasil meraup 32 suara dari 47 suara hakim agung dalam Sidang Paripurna Khusus Pemilihan Ketua MA. Sementara itu, Andi Samsan Nganro meraih 14 suara. Satu suara dinyatakan abstain, yakni suara Hatta Ali.
Berikut perjalanan M Syarifuddin sebelum menjabat sebagai Ketua MA:
Syarifuddin diketahui lahir di Batu Raja, Sumatera Selatan pada 17 Oktober 1954. Dikutip dari laman resmi Mahkamah Agung (MA), anak ketiga dari enam bersaudara ini menyelesaikan pendidikan SD sampai SMA di kota kelahirannya tersebut. Setelah menyelesaikan bangku SMA, pilihan Syarifuddin remaja langsung tertuju pada Kota Yogyakarta. Ia ingin melanjutkan studi Sarjana di "Kota Gudeg" tersebut walaupun belum tahu ingin kuliah di universitas mana. Saat itu, nama Universitas Gadjah Mada (UGM) yang merupakan salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia pun belum pernah ia dengar. Terpilihnya Yogyakarta sebagai kota yang akan Syarifuddin tuju, bukan tanpa alasan. Pasalnya, orang yang ada di kampung Syarifuddin menyebut bahwa Yogyakarta adalah tempat yang bagus untuk kuliah.
Presiden Joko Widodo menyalami Muhammad Syarifuddin seusai pengambilan sumpah jabatan Syarifuddin sebagai Wakil Ketua MA Bidang Yudisiial di Istana Negara, Selasa (3/5/2016). (Biro Pers lstana)
Tak berpikir panjang, Syarifuddin muda langsung berangkat ke Yogyakarta dengan diantar oleh sang ayah. Syarifuddin akhirnya memutuskan untuk mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Di kampus yang banyak melahirkan tokoh hukum tingkat nasional itu, ia tercatat pernah menjadi mahasiswa terbaik se-fakultas hukum dan wisudawan terbaik UII. Ketika masih sarjana muda, Syarifuddin pernah bekerja sebagai staf perpustakaan di IAIN Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga), tetapi hanya sebentar karena kuliahnya di UII akan segera usai. Belum sempat ijazahnya keluar, ada pembukaan pendaftaran calon hakim. Dengan menggunakan ijazah sementara ia pun mendaftar dan ternyata lulus dan ditempatkan di Banda Aceh. Dengan menaiki Kapal Tampomas, Syarifuddin pun berangkat dari Tanjung Priuk ke Belawan, lalu ke Banda Aceh. Dengan berjalannya waktu, Syarifuddin terus melanjutkan kiprahnya sebagai hakim hingga saat ini.
Masih dari sumber yang sama, pria yang awalnya menjabat sebagai Wakil Ketua MA bidang Yudisial ini pernah merasakan pengalaman pahit saat pertama kali bertugas sebagai hakim. Selama tujuh tahun bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Kutacane, Syarifuddin tidak pernah pulang kampung lantaran tidak punya ongkos atau uang saku. Gaji kecil, jika harus naik pesawat, bisa-bisa ia dan keluarganya tidak akan makan berbulan-bulan. Tapi semua itu dijalaninya dengan ikhlas. Tak banyak yang tahu bahwa Syarifuddin sebenarnya tidak memiliki pikiran untuk menjadi hakim. "Jangankan bermimpi jadi Wakil Ketua MA, menjadi hakim pun awalnya tidak pernah terpikirkan oleh saya," kata Syarifuddin. Adapun prinsip hidupnya dalam bekerja adalah hanya ikhlas semata-mata karena Allah SWT. Harus juga diberangi rajin dan tekun bekerja serta disiplin dan bersungguh-sungguh. Namun, ikhlas saja menurutnya tidaklah cukup.