JABATAN
(Setiap kamu adalah pemimpin, setiap pemimpin akan dimintakan pertanggungjawabannya. Seorang suami ditanya akan hal keluargayang dipimpinnya. Istri akan ditanya tentang rumah tangga suami yang dipimpinnya. Seorang pelayan ditanya akan hal kepercayaan dan barang milik majikannya. al-Hadits).
Keinginan meraih sebuah jabatan merupakan suatu pemandangan biasa dan sering terjadi. Lebih-lebih lagi saat akan digelarnya pemilihan kepala daerah serentak pada desember tahun ini yang hanya tinggal menghitung bulan, sudah tampak kelihatan. Tebar pesona, tabur foto, dan pasang baliho sudah mulai terasa di daerah yang akan melaksanakan pemilihan bupati/walikota atau gubernur.
Jabatan memang menggiurkan. Apalagi jabatan puncak seperti bupati/walikota atau gubernur bahkan presiden. Dengan jabatan yang tinggi, seseorang lebih mudah meraih banyak hal, status sosial, kekayaan dan fasilitas lainnya. Tak aneh bila jabatan strategis seperti itu menjadi rebutan dan berlomba untuk mendapatkan simpati rakyat yang pada gilirannya akan diharapkan mendukung dan memilihnya pada saat pemilihan berlangsung. Namun dibalik itu semua ada hal yang terlupakan, bahwa jabatan adalah tugas berat dan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang dipimpinnya dan juga kepada Allah Swt yang memberikan amanah tersebut.
Menyadari tugas berat seorang pemimpin, Abu Bakar menangis saat dilantik sebagai seorang khalifah menggantikan Rasulullah Saw. Ia tahu sungguh sangat berat pertanggung jawabannya nanti di Padang Mahsyar. Dengan rendah hati Abu Bakar berkata, Demi Allah, aku bukanlah orang yang paling baik di antara kalian. Jika aku berbuat baik maka ikutilah, namun apabila aku berbuat sesuatu yang menyimpang, maka ingatkanlah.
Jabatan dalam Islam identik dengan amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Semakin tinggi jabatan yang diemban semakin besar pula tanggung jawabnya. Karena itu Rasulullah Saw sangat tidak menyukai kepada orang yang ambisi meraih jabatan. Biasanya orang yang seperti itu akan lebih mementingkan dirinya dan kelompoknya.
Abu Musa Al-Asy’ari bersama saudara sepupunya pernah datang menghadap Rasulullah Saw. Wahai utusan Allah berilah kami suatu jabatan dari sekian banyak jabatan yang engkau berikan untukmu, kata dua saudara sepupu itu. Beliau menjawab, saya tidak akan mengangkat dalam suatu jabatan kepada orang yang menginginkannya.
Selain mempertimbangkan sisi ambisi dari calon pemimpin yang memintanya, Rasulullah Saw dalam memilih pemimpin juga sangat mempertimbangkan kemampuan yang bersangkutan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim bahwa Abu Dzar al Ghifari datang kepada Rasul untuk meminta jabatan, namun beliau menolaknya. Wahai Abi Dzar kata Nabi, engkau adalah orang yang lemah, sedangkan jabatan merupakan amanat yang pada hari kiamat nanti menjadi sumber penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang-orang yang dapat menunaikan kewajibannya dan memenuhi tanggungjawabnya, kata Rasulullah Saw sambil menepuk bahu Abu Dzar.
Kondisi sekarang memang sangat jauh berbeda, jabatan sering dikejar dan berlomba untuk mendapatkannya. Terlebih lagi jabatan politik. Tak jarang dalam mendapatkan ada usaha yang tidak sehat seperti menyogok, menjegal calon lain bahkan menzalimi orang lain pokoknya berbagai cara dilakukan agar jabatan tersebut dapat diraih. Setelah terpilih menduduki jabatan baru, lalu berpesta pora merayakan kemenangan. Tak ada yang saat terpilih lantas mengucapkan istigfar mengingat tanggung jawab yang berat. Apalagi menangis seperti yang terjadi pada diri Abu Bakar saat terpilih sebagai khalifah.
Apapun jenis jabatan yang diemban semuanya akan dipertanggung jawabkan. Rasulullah Saw memperingatkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibni Umar r.a, Rasulullah Saw bersabda; setiap kamu adalah pemimpin, setiap pemimpin akan dimintakan pertanggungjawabannya. Seorang suami ditanya akan hal keluargayang dipimpinnya. Istri akan ditanya tentang rumah tangga suami yang dipimpinnya. Seorang pelayan ditanya akan hal kepercayaan dan barang milik majikannya. (27 Ramadhan 1440 H. tfk).